Sabtu, 29 Juni 2013

BAHASA KEI

Bahasa Kei
Veveu Evav, Veu Evav

Dituturkan diKepulauan Kei (Indonesia)
Wilayah Kei Kecil, Kei Besar (Maluku Tenggara)
Jumlah penutur 85.000  (tidak ada tanggal)
Rumpun bahasa
Austronesia
Melayu-Polinesia
 Melayu-Polinesia Tengah
Maluku Tenggara
Kei-Tanimbar
Kei-Fordata
Bahasa Kei
Kode-kode bahasa
ISO 639-3 kei
Bahasa Kei atau Veveu Evav adalah bahasa yang dituturkan etnik Evav di Provinsi Maluku, terutama di Kabupaten Maluku Tenggara, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk Pulau Kur dan Kamear adalah masyarakat penutur bahasa Kur, sedangkan penduduk desa Banda Eli dan Banda Elat di Kei Besar adalah masyarakat penutur bahasa Banda, bahasa Kei mereka gunakan sebagai lingua franca. Tiap pulau, bahkan hampir tiap desa memiliki dialek yang berbeda-beda, sehingga dialek yang digunakan seorang penutur menjadi petunjuk dari pulau atau daerah mana dia berasal. Bahasa Kei tidak memiliki sistem tulisan sendiri. Para misionaris Katolik dari Belanda menuliskan kata-kata Bahasa Kei dengan suatu bentuk variasi penggunaan abjad Romawi.
Kosa kata
Kata-kata dalam bahasa Kei masih memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa rumpun austronesia lainnya, misalnya:
Tahit (Bahasa Melayu: Tasik, Laut, Danau)
Nur (Bahasa Melayu: Nyiur, Kelapa)
Roan (Bahasa Kawi: Ron, Daun)
Lajaran (Bahasa Jawa: Jaran, Kuda)
Manut (Bahasa Jawa: Manuk, unggas)
Tom (Bahasa Minangkabau: Tambo, Hikayat)

Nomina
Nomina dalam bahasa Kei secara umum terbagi atas nomina independen dan nomina dependen.
Nomina independen adalah golongan kata benda yang dapat diucapkan sendiri, tanpa harus diberi sufiks pronomina, misalnya:
Rahan = Rumah
Ler = Matahari
Nuhu = Pulau
Nomina dependen adalah golongan kata benda yang lazimnya tidak diucapkan tanpa diberi sufiks pronomina, misalnya:
Lim-ang = Tangan-ku
Ren-am = Ibu-mu
Yan-an = Anak-nya

Pronomina
Pronomina personal:
Ya'au,= saya
O = kau
I = dia
It = kita
Am = kami
Im = kalian
Hir = mereka
Pronomina demonstratif:
En'i, ain'i = yang ini
En'he, ain'he = yang itu
Pronomina interogatif:
Hira'= siapa
Aka = apa
Tal aka, niraan aka = mengapa
Be = mana, di mana, ke mana
Ainbe, enbe = yang mana
Fel be = bagaimana
Nanan be = bilamana

Adjektiva posesif
Adjektiva posesif dalam bahasa Kei digunakan untuk menunjukkan kepemilikan atas nomina independen yang mengikutinya, misalnya:
Ning Kubang = Uangku
Mu kubang = uangmu
Ni kubang = uangnya
Did kubang = uang kita
Mam kubang = uang kami
Bir kubang = uang kalian
Rir kubang = uang mereka
Pronomina yang diikuti adjektiva posesif berfungsi sebagai pronomina posesif yang menunjukkan kepemilikan atas nomina independen yang mendahuluinya, misalnya:
Nuhu i ya'au ning = pulau ini milikku
Nuhu i am mam = pulau ini milik kami
Bergantung pada konteks kalimatnya, jika pronomina yang diikuti adjektiva posesif tersebut mendahului nomina, maka dapat bermakna pronomina posesif, misalnya:
O mu nuhu i = milikmulah pulau ini
It did nuhu i = milik kitalah pulau ini
Dan dapat pula sekedar mempertegas adjektiva posesif yang mengikutinya, misalnya:
Ya'au ning ravit namsait rak = ning ravit namsait rak = bajuku sudah koyak.

Adjektiva
Adjektiva bahasa Kei senantiasa mengikuti nomina yang diterangkannya, misalnya:
Vat la'ai = Batu besar (la'ai = besar)
Ravit kamumum = Baju ungu (kamumum = ungu), atau baju kebesaran (karena baju berwarna ungu atau lembayung lazimnya dikenakan dalam upacara tradisional Kei)
Ai baloat = Kayu panjang (baloat/bloat = panjang)

Verba
Dalam percakapan, verba bahasa Kei biasanya dirangkai dengan awalan yang menunjukkan pelaku, misalnya:
kata dasar: tod = hela
utod = saya menghela
umtod = engkau menghela
entod = dia menghela
ittod = kita menghela
amtod = kami menghela
imtod = kalian menghela
ertod = mereka menghela
Pengimbuhan awalan yang menunjukkan pelaku tersebut tidak mengubah pengucapan kata dasarnya (kecuali pada beberapa verba tertentu), sehingga perlu dipisahkan dengan verba yang diawali huruf vokal, agar tidak dibaca bersambung, misalnya:
kata dasar: eak = ikat
u'eak = saya mengikat
um'eak = engkau mengikat
Pada Verba tertentu, terjadi variasi awalan yang menunjukkan pelaku, misalnya:
kata dasar: fla = lari
ufla = saya lari
mufla = engkau lari
nefla = dia lari
tefla = kita lari
mefla = kami lari
befla = kalian lari
refla = mereka lari
kata dasar: an = makan
uan= saya makan
muan = engkau makan
na'an = dia makan
ta'an = kita makan
maan = kami makan
mian = kalian makan
ra'an = mereka makan

konjungsi
Ma = maka, lalu, kemudian
Ne = dan, tetapi, sedangkan
Ibo = tetapi
hov, enhov = dan, dengan

Fonologi
Fonem konsonan asli: b, d, f, h, j, k, l, m, n, r, s, t, v, w, y, ng, ny.
Fonem konsonan serapan: c, g, p, q, x, z.
Fonem vokal: a, i, u, e, o (pendek); aa, ii, uu, ee, oo (panjang); ai, au, oi, eu (diftong).

Bilangan dalam bahasa Kei
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
sa ru tel vaak lim nean fit wau siuw vut
Angka Kata
11 vut ensa
12 vut enru
13 vut entel
14 vut enfaak
15 vut enlim
16 vut ennean
17 vut enfit
18 vut enwau
19 vut ensiu
20 vutru
21 vutru ensa
22 vutru enru
23 vutru entel
30 vuttel
40 vutfaak
50 vutlim
60 vutnean
100 ratut
101 ratut ensa
102 ratut enru
120 ratut vutru
121 ratut vutru ensa
200 ratru
500 ratlim
1.000 rivun
1.001 rivun ensa
1.002 rivun enru
1.010 rivun envut
1.011 rivun vut ensa
1.020 rivun vutru
1.021 rivun vutru ensa
1.500 rivun ratlim
1.520 rivun ratlim vutru
1.522 rivun ratlim vutru enru
2.000 rivunru
5.000 rivunlim
10.000 rivunvut
99.999 rivunvutsiu ratsiu vutsiu ensiu


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

SEKILAS SEJARAH KEPULAUAN KEI (NUHU EVAV)

KEPULAUAN KEI (NUHU EVAV)
 
Gereja Katolik di desa Namaai di Kepulauan Kei di masa Hindia Belanda
Kepulauan Kai (atau Kei) di Indonesia berada di bagian tenggara Kepulauan Maluku, termasuk dalam Provinsi Maluku.
Geografi
Penduduk setempat menyebut kepulauan ini Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav"), tetapi dikenal dengan nama Kei atau Kai oleh penduduk dari pulau-pulau tetangga. "Kai" sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda, dan masih digunakan dalam buku-buku yang ditulis berdasarkan sumber-sumber lama. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah Kepala Burung Irian Jaya, di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar.
Kepulauan Kai terdiri atas sejumlah pulau, di antaranya adalah
Kei Besar atau Nuhu Yuut atau Nusteen
Kei Kecil atau Nuhu Roa atau Nusyanat
Tanimbar Kei atau Tnebar Evav
Kei Dulah atau Du
Dulah Laut atau Du Roa
Kuur
Taam
Tayandu atau Tahayad
(Setelah Pemekaran Kota Tual tahun 2008 sebagai Kota Administratif, maka Pulau Dullah, Pulau Kuur, Pulau Taam dan tayando menjadi daerah Kota Tual, sedangkan Pulauh Kei Kecil, Kei Besar, Tanimbar kei menjadi Daerah Kabupaten Maluku Tenggara (Kabupaten Induk) dengan Ibukota Kabupaten Langgur (Terletak di pulau kei kecil). Sejak 1 Januari 2010 Pusat pemerintah kabupaten maluku tenggara resmi berada di langgur walaupun penyerahan aset kabupaten ke pemerintah kota tual baru dilaksanakan tanggal 23 januari 2010)
Selain itu masih terdapat sejumlah pulau kecil tak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kai adalah 1438 km² (555 mil²).
Kei Besar bergunung dan berhutan lebat. Kei Kecil datar dan memiliki populasi terbanyak. Pulau ini sebenarnya merupakan sebuah pulau koral yang terangkat ke permukaan laut. Ibukota kepulauan ini adalah Kota Tual, yang mayoritas warganya beragama Islam. Tak jauh dari Tual terletak Langgur yang merupakan pusat bagi warga Kristiani. Kei termasyhur berkat keindahan pantai-pantainya, misalnya pantai Pasir Panjang.
Kepulauan Kai merupakan bagian dari daerah Wallacea, kumpulan pulau-pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam dari lempeng Benua Asia maupun Australia, dan tidak pernah tersambung dengan kedua benua tersebut. Sebab itu, hanya terdapat sedikit jenis mamalia lokal di Kepulauan Kai.

Sejarah
Prasejarah
Tom Goodman bersama tim ekspedisi Duyikan dari Universitas Hawaii adalah salah satu dari beberapa ilmuwan asing yang meneliti gua kuno Ohoidertavun yang berada pada ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan laut di Kei Kecil. Di sekitar gua kuno ini ditemukan dinding batu sepanjang 200 meter yang terukir apik dengan beragam gambar dan lukisan/tulisan kuno. Lukisan kuno yang terpajang di dinding goa Ohoidertavun menggambarkan beragam kehidupan masyarakat pada masa lampau dalam kaitannya dengan alam sekitarnya seperti matahari, bulan, dan bintang, serta perahu sebagai sarana transportasi, kehidupan fauna dan flora, bahkan lukisan topeng. Pada situs tersebut juga tergambar lukisan mengenai seni tari gembira sebagai ungkapan syukur yang lebih terfokus pada kehidupan religius. Lukisan di dinding goa Ohoidertavun mengekspresikan tingginya kebudayaan bangsa Indonesia pada ribuan tahun silam yang memiliki spesifikasi yang serupa dengan karya lukisan masyarakat asli Papua dan Australia. Adanya kemiripan sejarah dan budaya ini mengundang perhatian khusus Direktur/Produser Film dari Australia, Marcus Gillezeau untuk mengabdikannya dalam film dokumenter untuk disebarluaskan ke seluruh dunia guna mengundang semakin banyak ilmuwan, wisatawan, dan petualang berkunjung ke daerah rempah-rempah ini, yang pernah kesohor pada masa lalu.
... . Apa yang ditemukan di goa Ohoidertavun merupakan sesuatu yang tergolong langka, unik, dan luar biasa menarik untuk diteliti dan dikaji,
— Marcus, "Duyikan Team dari Universitas Hawaii"
Karenanya perlu diangkat ke permukaan untuk dipromosikan karena lukisan tangan para leluhur yang tergolong langka di tebing batu setinggi 24 meter itu secara antropologi mengisyaratkan adanya semacam kesamaan hubungan keturunan antara suku asli Kepulauan Kei dengan penduduk asli Australia.
Sejarah Lisan
Penduduk Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis. Sebaliknya mereka memiliki Tom-Tad, yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai dengan benda-benda warisan tertentu sebagai penjamin keontentikan hikayat itu. Sebagian besar hikayat ini dibumbui dongeng atau lambang-lambang, akan tetapi dianggap sepenuhnya benar secara harafiah oleh pribumi kepulauan ini pada umumnya.
Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali), wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Jangra menepi di Desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar, dan perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.
Letvuan dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal (Darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh.
Hala'ai Jangra dan Hala'ai Deu adalah gelar, bukan nama diri. Nama asli mereka tidak lagi diketahui. Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama asli Hala'ai Deu adalah Esdeu, ada yang mengatakan Kasdeu, ada pula yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah Sadeu, atau Sadewa, atau pun Dewa.
Selain Bali, orang Kei yakin bahwa negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup Sumbau (Pulau Sumbawa), Vutun (Buton), Seran Ngoran (Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta Dalo Ternat (Jailolo dan Ternate).
Zaman modern
Pulau kecil Tanimbar-Kei bukanlah bagian dari Kepulauan Tanimbar, melainkan bagian dari Kepulauan Kai dan berpenghuni kurang dari 1000 jiwa, warganya sangat tradisional. Setengah dari populasi pulau ini mengaku beragama Hindu, namun kenyataannya mereka mempraktekkan pemujaan leluhur, yakni sistem religi asli Kepulauan Kai.
Pada tahun 1999 pecah kerusuhan antara warga Muslim dan Kristiani di Kota Ambon yang kemudian merambat pula ke Kepulauan Kai, akan tetapi dengan cepat mereda serta tidak banyak menelan korban jiwa.

BAHASA
Ada tiga bahasa rumpun austronesia yang dipertuturkan di Kepulauan Kai; Bahasa Kei (Veveu Evav) adalah yang paling luas pemakaiannya, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan Bahasa Kur (Veveu Kuur) dalam percakapan sehari-hari, Bahasa Kei mereka gunakan sebagai lingua franca. Bahasa Banda (Veveu Wadan) digunakan di desa Banda Eli (Wadan El)dan Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan Timur Laut Pulau Kei Besar. Para Pengguna Bahasa Banda berasal dari Kepulauan Banda, tempat di mana bahasa itu tidak lagi digunakan. Bahasa Kei tidak memiliki sistem tulisan sendiri. Para misionaris Katolik dari Belanda menuliskan kata-kata Bahasa Kai dengan suatu bentuk variasi penggunaan abjad Romawi.
Kosa Kata
Beberapa kata dalam Bahasa Kei memiliki fonem V (seperti V pada Via dalam Bahasa Latin) yang berbeda dengan fonem F dan P. Penduduk wilayah Utara Pulau Kei Besar membedakan fonem R seperti pada kata Rata dalam Bahasa Indonesia, dengan fonem R seperti pada français /fʁɑ̃ sɛ/ dalam bahasa Perancis. Meskipun demikian, dalam bentuk tertulis, kedua fonem ini tidak dibedakan.
Kosa kata Bahasa Kei modern mencakup banyak kata serapan dari banyak bahasa lain terutama Bahasa Melayu. Sebagian besar adalah nomina, yakni nama beberapa benda yang baru dikenal masyarakat Kepulauan Kei pada akhir abad ke-19. Kata-kata yang memiliki huruf P dan G dapat dipastikan merupakan kata serapan, karena kedua fonem tersebut tidak dikenal dalam kosa kata Bahasa Kei asli.
Contoh beberapa kata serapan :
Gur = Guru
Agam, Angam, Ayngam = Agama
Masikit = Masjid
Pen = Pena

Perekonomian
Kepulauan Kei dianugerahi terumbu karang yang produktif dan berlimpah, dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat Maluku, mata pencaharian orang Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok-tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Karena Kepulauan Kei tidak menghasilkan rempah-rempah ataupun komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, perahu dan teripang, maka Kei luput dari perhatian pedagang dan kolonialis Barat sampai dasawarsa terakhir abad ke-19. Ikan dan kerang berlimpah ruah di laut sekitar Kepulauan Kei. Menangkap ikan adalah aktivitas sekunder; keluarga-keluarga umumnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercocok tanam. Warga desa menangkap ikan dengan menggunakan perangkap ikan, kail, lembing, dan jala, atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di terumbu karang dan ceruk-ceruk pantai pada saat air laut surut. Sejak tahun 1980an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon dan motor tempel. Beberapa warga desa memperdagangkan sebahagian hasil panen atau tangkapannya kepada para tengkulak atau di pasar-pasar kota Tual dan Elat. Sumber pendapatan tunai lainnya mencakup penjualan kopra dan cangkang kerang lola (Trochus niloticux), usaha dagang eceran, sumbangan dari anggota keluarga di rantau, dan gaji pegawai negeri.

SENI BUDAYA
Alat Musik
Alat musik tradisional di Kepulauan Kai adalah:
Savarngil (Suling): Seruling kecil lokal sepanjang 4 sampai 8 inci, terbuka di kedua ujung, memiliki enam lubang tempat jari, terbuat dari bambu, dan tanpa kunci nada.
Tiva (Gendang): Terdiri atas selembar membran dari kulit sapi yang direntangkan erat-erat menutupi salah satu ujung dari sebuah wadah yang berlubang.
Dada (Gong): Alat musik tabuh dengan jari-jari 12 sampai 15 inci, terbuat dari tembaga atau besi dengan tonjolan di bagian tengah.
Tarian
Sosoy Temar-Rubil (Tarian Perang) yang penuh semangat hanya ditarikan oleh kaum pria, sementara tarian yang lembut seperti Sosoy Kibas (Tari Kipas) hanya ditarikan oleh kaum wanita. Gerakan-gerakan yang tidak terlampau lembut maupun beringas hanya terdapat dalam Sosoy Sawat (Tarian Pergaulan) dan Sosoy Yarit (Tarian Umum), dan oleh karenanya dapat ditarikan baik oleh pria maupun wanita. Gerak-gerik yang agung dan lemah-lembut diijinkan dalam tarian pria seperti dalam Sosoy Swar Man-Vuun (Tarian Penghormatan), namun gerak-gerik yang cepat dan lincah tidak terdapat dalam tarian wanita. Tarian asli Kei umumnya diciptakan untuk tujuan penghormatan, sehingga jarang ditarikan oleh anak-anak. Hanya orang dewasa dan remaja akil-balig yang diikutsertakan. Bahkan sosoy Swar Man-Vuun yang dipentaskan di haluan "Bilan" (Perahu Kebesaran) dulunya hanya ditarikan oleh pria yang sudah berkeluarga.
Penari wanita di kepulauan Kei juga menggunakan Kipas, Yerikh (Daun lontar yang dikeringkan) dan Penari Pria dapat menggunakan panah, parang, Tombak dan juga bulu Kasuari dan diikatkan pada ujung tongkat berukuran kurang lebih 10 cm.
Seperti di banyak tempat di Kepulauan Maluku, sejak zaman kolonial, orang Kei mengenal pula dansa ala Eropa, dan kaum mudanya saat ini tidaklah jauh tertinggal dalam seni tari kontemporer. Dansa Waltz, cha cha cha, dan bahkan joget dangdut umum dijumpai dalam pesta-pesta mereka.


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas